Malin Kundang, Durhaka yang Membawa Bencana
Malin Kundang, Durhaka yang Membawa Bencana
oleh: Elza Peldi Taher
Semalam, bersama isteri, saya menonton Mahakarya Randai II the Story of Malin Kundang. di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki. Lebih dari 200 orang menonton acara ini, sesuai kapasitas kursi, sebagian orang Minang, meski harga tiket termurah 2 juta rupiah.
Acara makin menarik karena dipintu masuk gedung teater kecil ini dipamerkan lukisan Artificial Intelligence karya Denny JA. Topik Malin Kundang yang menjadi cerita utama diolah Denny JA dalam lukisan dengan mengunakan teknologi AI sehingga cukup menarik minat pengunjung. Pada lukisan itu tersirat kekuatiran Denny bahwa Artificial Intelligence yang dirawat ibu kandungnya manusia suatu saat juga akan menjadi Malin Kundang karena kecerdasannya sudah melewati kecerdasan manusia
Acara yang digagas sahabat baik saya uni Sastri Bakry, ketua Satupena Sumbar ini, kembali mengangkat cerita klasik, Malin Kundang si anak durhaka. Malin Kundang yang tak mau mengakui ibunya yang miskin setelah kaya, akhirnya dikutuk jadi batu. Batu yang terletak di Pantai air Manis Padang itu menjadi maqnet pariwisata sumbar. Dongeng ini begitu mengakar kuat di Minang, bahkan banyak pula yang percaya bahwa cerita ini fakta, bukan fiksi. Yang percaya bukan hanya rakyat biasa, tapi juga kaum terpelajar.
Sebagai orang Minang, saya sebenarnya tak suka dengan legenda Malin Kundang, meski pesan moralnya amat bagus. Yang tak saya sukai, seorang ibu, dari Minang pula, tega mengutuk anaknya jadi batu karena tak mengakui ibunya ketika sudah sukses. Tugas seorang ibu adalah mengantarkan anaknya ke pintu gerbang kehidupan agar mandiri.
Jika itu sudah tercapai seharusnya ia bersyukur karena itulah tugas yang diembannya ketiga sang anak hadir di dunia ini. Apakah ia kemudian jadi anak yang berbakti atau tidak, itu tak seharusnya membuat sang ibu marah apa lagi kemudian mengutuk anaknya jadi batu.
Cerita ini juga bertentangan dengan nature seorang ibu yang punya kasih sayang tak terbatas pada anaknya. Cerita ini akan lebih bagus fungsi edukasinya jika sang ibu meninggalkan anaknya yang tak mau mengakuinya dengan doa agar anaknya hidup bahagia karena kasih ibu ‘sepanjang hayat’.
Tapi pesan moral cerita ini amat bagus, agar kita tak durhaka pada orang tua. Durhakan pada orang tua adalah durhaka pada kehidupan. Durhaka pada orang tua akan dimurkai Sang Maha Pencipta. Durhaka adalah perbuatan yang merendahkan derajat manusia, bertentangan dengan hakikatnya ketika hadir di dunia ini. Dalam kehidupan durhaka tak hanya dalam hubungan anak terhadap orang tua. Ada suami yang durhaka pada isteri, isteri yang durhaka pada suami, orang tua durhaka pada anak. Ini durhaka pada tingkat individual.
Tapi durhaka yang membawa bencana lebih besar dan merugikan orang banyak adalah durhaka seorang pejabat terhadap jabatannya dengan membuat langkah kebijakan yang dibuat demi kepentingan pribadi dan kelompoknya dan memanfaatkan jabatan untuk menumpuk kekayaan. Inilah durhaka yang berbahaya karena merugikan rakyat banyak.
Durhaka terhadap jabatan itulah yang kini kita rasakan ditanah air. Tiap hari ada berita pejabat korupsi dan ada orang yang memanfaatkan jabatan hanya untuk kepentingan kelompoknya saja.
Tahun 1980-an seorang diplomat mengatakan Indonesia tak akan jadi negara maju karena dua hal, etika kerja yang lembek dan korupsi yang gawat pada semua lapisan. Ramalannya terbukti. Indonesia terjadi huru hara tahun 1998 karena rakyat marah pada korupsi. Anehnya setelah reformasi korupsi bukannya berkurang tapi malah makin menjadi jadi dan terjadi pada semua lapisan
Bagaimanapun saya cukup senang dengan pementasaan Malin Kundang semalam karena acara ini menghibur ratusan penonton meski harus membayar tiket termurah 2 juta rupiah. Banyak penonton yang menangis karena terharu. Ini bukti apresiasi dan animo terhadap kesenian Minang amat tinggi
#Elza Peldi Taher
Tidak ada komentar